Prof. Brian Ingatkan Pentingnya Perubahan Mentalitas Pada Perguruan Tinggi

Ilustrasi sarjana di Indonesia. (Freepik)

Prof. Brian Ingatkan Pentingnya Perubahan Mentalitas Pada Perguruan Tinggi

JAKARTA, Matanews — Narasi yang dilontarkan Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto, dalam kuliah umum di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Sabtu (28/9/2025), menggelitik sekaligus menantang dunia kampus. Ia menyebut perlunya perubahan mentalitas agar pendidikan tinggi benar-benar menjadi motor penggerak industri dan pilar kemajuan bangsa.

“Di negara dengan ekonomi bagus, selalu ada industri kuat. Di belakang industri kuat, selalu ada kampus hebat,” ujar Brian.

Kalimat ini, menurutnya, bukan sekadar pernyataan, melainkan cermin bagi bangsa untuk bertanya: apakah kita cukup ambisius untuk menjadi hebat?

Brian menyoroti fenomena yang ia sebut mentalitas jam lima sore: budaya bekerja sekadarnya dan segera berhenti saat jam kerja usai. “Bagaimana kita bisa mengejar target besar, kalau mentalitas masih jam lima sore?” katanya.

Ia membandingkan dengan Korea Selatan, di mana mahasiswa masih sibuk di laboratorium hingga malam, berdebat dengan dosen demi temuan baru. Sementara itu, sebagian mahasiswa di Indonesia lebih banyak terjebak zona nyaman: menghabiskan waktu untuk media sosial, permainan daring, atau hiburan lain.

“Hiburan bukan masalah, itu hak setiap individu. Tapi bangsa besar hanya lahir dari elite akademik yang ambisius dan gila kerja,” tegasnya.

Brian juga mendorong redefinisi peran dosen. Bukan semata akademisi yang dihargai dari jumlah publikasi, tetapi sebagai inovator yang menghasilkan solusi nyata bagi industri dan masyarakat.

“Penelitian harus membumi. Harus bisa dijual, menghasilkan royalti, sekaligus menjadi solusi publik,” jelasnya. Karena itu, posisi strategis seperti Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian, menurutnya, seharusnya berfungsi layaknya duta besar kampus. “Mereka tidak cukup duduk di kampus, tapi harus ada di kawasan industri, di lobi kementerian, di ruang-ruang bisnis,” tambah Brian.

Pernyataan itu sejalan dengan teori klaster inovasi dari Michael Porter, Harvard University, yang menekankan pentingnya kolaborasi erat universitas, industri, dan pemerintah.

Untuk mewujudkan hal itu, Brian menilai, diperlukan reformasi struktural:

Insentif riset harus bergeser dari kuantitas publikasi ke dampak nyata.

Kampus-industri perlu diperkuat lewat model ala Fraunhofer Society di Jerman.

Mahasiswa harus dididik sebagai agen perubahan, bukan sekadar pencari ijazah.

Brian menutup kuliah dengan seruan reflektif: “Kemajuan bukan hadiah, melainkan hasil kerja keras. Mentalitas jam lima sore adalah jalan nyaman tapi buntu. Kita harus memilih jalan jam sembilan malam—penuh tantangan, tapi menjanjikan tujuan besar.”Baginya, masa depan pendidikan tinggi Indonesia ditentukan oleh keberanian untuk keluar dari zona nyaman. “Pertanyaannya, maukah kita mengambil jalan terjal itu, atau kita puas dengan kenyamanan yang hanya membawa stagnasi?” ujarnya. (Chl)


Warning: Attempt to read property "term_id" on bool in /home/u963642857/domains/mata.news/public_html/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-collection.php on line 7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *