Tolak Pembangunan Villa di Pulau Padar, Akademisi: Bebaskan TNK dari Pebisnis Rakus
Penolakan Pembangunan Villa di Pulau Padar
JAKARTA, Matanews – Rencana pembangunan ratusan villa dan resort oleh seorang konglomerat asal Jakarta di Pulau Padar, yang termasuk zona inti Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur, menuai penolakan dari akademisi.
Salah satunya datang dari akademisi Dr. Philipus Ngorang, M.Si, dosen Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie. Proyek tersebut tegas Philipus, tidak hanya bertentangan secara moral, tetapi juga menyalahi konstitusi dan ideologi bangsa.
Secara konstitusional pembangunan tersebut timpal Philipus, melanggar tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan melindungi seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, Philipus juga menyoroti Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Pertanyaannya, apakah pembangunan villa dan resort oleh pebisnis itu mendatangkan kesejahteraan masyarakat umum dan masyarakat setempat khususnya? Fakta historis menunjukkan bahwa pembangunan hotel-hotel di Labuan Bajo tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat setempat. Transportasi hingga bisnis wisata dikuasai pihak luar. Pola serupa akan terjadi jika villa dan resort di Pulau Padar dibangun, sehingga jelas bertentangan dengan konstitusi,” kata Philipus, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, (22/09/2025).
Secara ideologis, proyek tersebut kata Philipus, melanggar sila kelima Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Philipus mengingatkan bahwa Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 mengakui hak masyarakat hukum adat. Dengan demikian, masyarakat Manggarai Barat dan Manggarai Raya yang memiliki keterikatan historis dan budaya dengan Pulau Padar harus dilibatkan
Pemerintah pusat tegas Philipus, tidak boleh mengambil keputusan sepihak tanpa memperhatikan hak masyarakat adat yang memiliki konsep geopolitik Selat Sapen Sale, Wae Mokeln Awo. Kemudian dalam konteks otonomi daerah, pemerintah pusat tidak dapat dengan semena-mena mengambil kebijakan tanpa melibatkan pemerintah setempat yang memiliki peran untuk melindungi hak-hak hukum masyarakat adat.
“Kepatuhan terhadap pasal-pasal itu menjadi sesuatu yang bersifat imperatif kategoris atau wajib tanpa syarat yang merupakan bagian pelaksanaan tujuan bernegara dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV: memajukan kesejahteraan umum. Artinya, kepatuhan terhadap Pasal itu adalah kewajiban moral dan konstitusional,” ujarnya.
Lebih lanjut, Philipus juga mengkritik praktik ekonomi liberal kapitalis yang dianut Indonesia dari Adam Smith yang hanya mengedepankan kepentingan diri atau selfishness segelintir orang. Menurutnya, sistem tersebut mendorong eksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Philipus menegaskan sitsme liberal kapitalis seperti ini, harus ditolak karena mengandung keburukan atau VICE.
Padahal dalam kegiatan bisnis, orang juga dituntut untuk mementingkan orang lain atau altruisme. Philipus menjelaskan titik tengah antara egoisme dan altruisme adalah Benevolence. Ini adalah keutamaan dalam kegiatan bisnis yang ditandai oleh cooperation, reciprocity dan justice.
Artinya, kegiatan bisnis yang dilakukan di Labuan Bajo harus didasarkan pada kerjasama (bukan hanya pemilik perusahaan dan karyawannya tapi juga stakeholder termasuk masyarakat adat) yang didasarkan pada keuntungan timbal balik serta didasarkan pada semangat keadilan.
“Bisnis seharusnya berlandaskan pada kerja sama, timbal balik, dan keadilan. Namun, kenyataan di lapangan cendrung eksploitatif dan mirisnya didukung oleh elit politik yang bersetubuh dengan para konglomerat bisnis. Jadi secara ideologis, ada proses “perampokan” ekonomi negara atas hak-hak milik warga negara oleh elit politik,” tegasnya.
Lebih jauh, secara moral, Philipus menilai Pulau Padar adalah bagian dari ekosistem konservasi yang harus dilindungi. Upaya membangun resort di kawasan tersebut dinilai sebagai bentuk keserakahan manusia yang mengancam kelestarian alam. Maka dari itu, dengan tegas, Philipus menyatakan menolak segala bentuk tindakan yang dapat mengancam kelestarian ekosistem di wilayah konservasi seperti TNK.
“Pulau Komodo, Rinca, Padar, dan gugusan sekitarnya harus dijaga dalam keadaan natural. Pembangunan yang berorientasi bisnis semata justru akan merusak warisan dunia yang kita miliki. Tangan manusia yang mencoba merusaknya demi kepentingan bisnis harus ditolak. Bebaskan gugusan kepulauan itu dari pendekatan pembangunan yang antroposentris, menguasai alam demi kepentingan bisnis dari sekelompok pebisnis yang rakus,” tutupnya. (Gom)




Warning: Attempt to read property "term_id" on bool in /home/u963642857/domains/mata.news/public_html/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-collection.php on line 7