Skandal Mafia Tanah Rp95 Miliar di Bitung, Pengamat Hukum Desak KPK, Kejagung, dan Polri Tuntaskan

Ilustrasi Mafia Tanah (Istimewa)

Tangkap Mafia Tanah Sekarang!

JAKARTA, Matanews — Desakan publik untuk menuntaskan skandal mafia tanah di Depot PT Pertamina (Persero) Bitung, Sulawesi Utara, semakin menguat setelah salah satu sumber hukum yang mengikuti perkara turut bersuara lantang. Pengamat Hukum itu menegaskan bahwa KPK, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri harus segera turun tangan menindak tegas pihak-pihak yang diduga merampok uang negara sebesar Rp95 miliar melalui rekayasa pembayaran ganti rugi lahan.

“Kasus ini tidak bisa dibiarkan. Negara dirugikan, hukum dilecehkan, dan kepercayaan publik dipertaruhkan,” tegas Sumber Hukum yang enggan disebut namanya di Jakarta, Kamis (23/10).

Tanah Bertambah, Kepemilikan Berubah

Menurut dokumen resmi yang beredar, tanah seluas 184.704 meter persegi di kawasan Depot Pertamina Bitung awalnya dimiliki oleh Simon Tudus, sebagaimana tercatat dalam Buku Tanah Nomor 1 Tahun 1968. Namun secara misterius, pada 1978 muncul Buku Tanah Nomor 1 Tahun 1978 atas nama Bernetje Rawung dkk, dengan luas lahan yang melonjak hingga tiga kali lipat tanpa dasar hukum dan administrasi yang sah.

Perubahan kepemilikan itu diduga menggunakan Surat Keterangan Waris palsu, yang kemudian dibatalkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa melalui Surat No. 180/03/08 tanggal 28 Februari 2005. Surat tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat administratif dan tidak memiliki nomor registrasi resmi, sehingga tak dapat dijadikan dasar hukum atas perubahan kepemilikan.

“Ini jelas bukan kekeliruan teknis, tetapi upaya sistematis mengubah dokumen kepemilikan untuk menguasai aset negara,” ujarnya

Skandal Mafia
Ilustrasi Mafia Tanah (Istimewa)

BPN Bitung Terbitkan Surat Pelepasan Hak Ilegal

Ironisnya, meskipun telah ada putusan Mahkamah Agung Nomor 305/PK/Pdt/2011 yang membatalkan seluruh proses eksekusi dan pembayaran ganti rugi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bitung tetap menerbitkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Register No. 147/BA.71.72.MP.01.02/V/2025.

Surat tersebut menjadi dasar bagi rencana pencairan dana Rp95 miliar kepada pihak yang secara hukum tidak berhak menerima kompensasi.
Yang lebih mencengangkan, pada 27 Mei 2025 dilakukan penandatanganan dokumen pelepasan hak dan proses pencairan dana, meski Kepala BPN Bitung telah diganti.

Dugaan kuat mengarah pada campur tangan pejabat BPN Pusat, yang diduga ikut mengatur pemecahan sertifikat dan manipulasi data pertanahan agar dana tersebut tetap bisa dicairkan.

“Ini bukan pelanggaran administratif biasa. Ada kolusi vertikal dari daerah sampai pusat,” ungkap sumber investigasi.

Jangan Biarkan Mafia Tanah Mengangkangi Hukum

Sebagai tokoh Hukum, Dirinya menilai kasus ini mencerminkan bahaya korupsi terstruktur di sektor pertanahan yang melibatkan oknum dari berbagai lembaga negara. Ia menyebut bahwa kejahatan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerus wibawa hukum dan kepercayaan masyarakat.

“Kita tidak bisa membiarkan aparat negara bermain mata dengan mafia tanah. Negara tidak boleh kalah oleh para perampok berseragam hukum,” ujarnya dengan nada tegas.

Ia juga menyerukan agar KPK, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri tidak saling menunggu dan segera membentuk tim gabungan untuk menelusuri seluruh aliran uang, pemalsuan dokumen, dan keterlibatan pejabat pusat.

Skandal Mafia
Ilustrasi Mafia Tanah (Istimewa)

Laporan Polisi dan Jaringan Pemalsuan Dokumen

Sebelumnya, Nico Noldy Mamanua telah melaporkan dugaan tindak pidana terkait kasus ini melalui Laporan Polisi Nomor STTLP/B/563/VIII/2025/SPKT/POLDA SULUT tertanggal 15 Agustus 2025. Dalam laporan tersebut, dua nama mencuat: Lexy Wawo, SH dan Jack Ticoalu, yang diduga sebagai pengatur utama pemalsuan dokumen sekaligus penerima manfaat dari rencana pembayaran ilegal tersebut.

Pakar hukum pertanahan menyebut, penegakan hukum tidak boleh berhenti di Bitung.

“Ini harus dibuka sampai ke pusat. Kalau tidak, mafia tanah akan terus menggerogoti aset negara,” ujarnya.

Skandal Lama, Pola Baru

Kasus ini disebut bukan yang pertama. Sebelumnya, muncul pula dugaan serupa terkait pencairan dana konsinyasi proyek PSN Tol Bitung senilai Rp53 miliar, dengan jaringan pelaku yang sama. Namun, hingga kini belum ada langkah hukum tegas dari aparat penegak hukum.

“Kalau pola yang sama terus dibiarkan, ini bukan lagi penyimpangan, tapi sistem mafia yang mengakar,” katanya menegaskan.

Ujian Integritas Aparat Penegak Hukum

Kasus ini kini menjadi ujian besar integritas KPK, Kejagung, dan Mabes Polri. Apakah mereka berani menindak pejabat tinggi yang diduga bermain di balik layar, atau justru membiarkan sindikat mafia tanah terus merampok uang rakyat.

Pakar Hukum menegaskan, masyarakat akan terus mengawasi.

“Jika penegakan hukum tidak tegas, rakyat akan menilai bahwa aparat justru bagian dari masalah, bukan solusi,” tutupnya. (Tim)


Warning: Attempt to read property "term_id" on bool in /home/u963642857/domains/mata.news/public_html/wp-content/themes/umparanwp/widget/widget-collection.php on line 7

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *