- Sukseskan Perhelatan Pelantikan Presiden 20 Oktober Mendatang, PPMI Tegaskan Tak Ada Aksi Demo
- Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajukan 24 Pertanyaan kepada Alexander Marwata
- Korem 052/WKR dan Kodim 0502/JU Peduli Lingkungan di Kali Ciliwung Dalam Rangka HUT Ke-79 TNI
- Polsek Curugbitung Berhasil Gagalkan Upaya Penggelapan Mobil Rental
- Kapolda Metro Jaya: Pemeriksaan Alexander Marwata Terkait Pertemuan dengan Eko Darmanto Ditunda
- Polda Metro Jaya Jadwalkan Pemeriksaan Alexander Marwata, KPK Ajukan Penundaan Klarifikasi
- Ditreskrimsus Polda Metro Lakukan Penyelidikan Dugaan Tindak Pidana Oknum KPK Alexander Marwata
- 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi, Lima Polda Terbentuk
- Dasco Ahmad: Kesejahteraan Hakim adalah Prioritas, DPR RI Siap Dorong Hasil Koordinasi
- Sambut Milad Muhammadiyah, PIMDA 06 Surabaya Gelar Turnamen Tapak Suci Nasional Chusnan David Cup 3
Draf Revisi UU Penyiaran Menuai Kontroversi, ETOS: Media Punya Siapa?
RUU Penyiaran
Keterangan Gambar : Istimewa
MATANEWS, Jakarta – Draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas di legislatif menuai kontroversi. Direktur Eksekutif ETOS Indonesia Institute, Iskandarsyah, menyampaikan kritik tajam terhadap rancangan undang-undang ini dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2024).
Iskandarsyah, yang juga dikenal sebagai pengamat politik, menyoroti dominasi kekuasaan atas media di Indonesia.
"Pers kita hari ini hampir 80% adalah milik kekuasaan, bukan milik rakyat. Siapa yang punya uang maka bisa berbicara apapun di media, sebaliknya jika hanya rakyat biasa maka selesai semua," tegas Iskandarsyah.
Baca Lainnya :
- PWI Depok Mengecam Pengusiran Wartawan di Proyek Alun-alun Bojongsari
- ETOS: Dimyati Natakusuma Tak Bisa Dibendung di Pilkada Banten 2024
- Polresta Bandara Soetta Gelar Pelayanan SIM Keliling, Ratusan ASN dan Karyawan Antusias
- Pangdam Jaya Beri Penghargaan kepada Kapolsek Mampang Prapatan Kompol David Y Kanitero
- Irjen Dedi Raih Rekor MURI Perwira Tinggi Polri Penulis Buku Terbanyak
Menurutnya, hal ini memungkinkan kekuasaan untuk sewenang-wenang merevisi UU Penyiaran, khususnya terkait aturan investigasi media yang terlalu detail.
Iskandarsyah mengutip ucapan Irman Putra Sidin mengenai adanya "cinta segitiga" antara eksekutif, legislatif, dan pers.
"Rakyat benar-benar dibungkam. Revisi UU Penyiaran yang sedang digodok legislatif ini menunjukkan tanda-tanda bahwa cinta segitiga tersebut akan pecah, karena cinta segitiga tidak akan pernah abadi," katanya mengulangi kutipan Irman Putra Sidin.
Iskandarsyah juga mengkritik media mainstream yang menurutnya bersifat transaksional, dengan menetapkan tarif tertentu untuk setiap berita yang ingin diangkat.
"Pers seharusnya menjadi sarana informasi untuk masyarakat, bukan hanya alat penguasa atau bos besar. Meski demikian, masih ada media yang tetap menjaga idealismenya sebagai penyampai informasi untuk rakyat tanpa harus menetapkan harga untuk setiap berita." paparnya.
Dalam pandangannya, revisi UU Penyiaran yang membatasi investigasi media adalah bentuk pemenjaraan pikiran para jurnalis yang masih berdedikasi.
"Kalau yang transaksional, tak perlu ikut-ikutan demo atau apalah namanya, karena itu ulah bos-bos kalian juga," tutup Iskandarsyah dengan nada tajam.
Revisi UU Penyiaran ini memang menjadi isu hangat, dengan banyak pihak yang merasa khawatir bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi akan terancam. Berbagai organisasi pers dan kelompok pro-demokrasi telah menyuarakan penolakan mereka terhadap beberapa pasal dalam draf revisi yang dianggap membatasi ruang gerak jurnalis dan media dalam menjalankan tugas mereka.
Kontroversi ini diharapkan dapat memicu diskusi lebih lanjut di kalangan legislatif dan publik, serta mendorong keterlibatan lebih banyak pihak dalam penyusunan regulasi yang adil dan demokratis. (Wly)